Saturday, 13 February 2016

Unknown

Wajib SNI, Produsen Mainan Edukatif Lokal Makin Terpuruk.

Suparjan, pemilik Suparjan & Rupikah Children Toy's menunjukkan salah satu produknya dirumah sekaligus workshopnya di Kelurahan Harjosari, Bawen, Kabupaten Semarang
LPKNM.com-Semarang. Masih ingat dengan Muhammad Kusrin, si perakit televisi asal Karanganyar, Jawa Tengah yang pernah tersandung masalah hukum gara-gara produknya tidak bersertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI)?

Ternyata, banyak para pelaku usaha kreatif di Indonesia yang bakal bernasib sama seperti Kusrin karena tidak sanggup membayar biaya pengajuan SNI untuk produk-produknya.

Salah satunya adalah Suparjan & Rupikah Children Toy's, produsen mainan edukatif di Kabupaten Semarang yang sudah berdiri sejak enam belas tahun.

Pada awal berdirinya hingga empat belas tahun berikutnya, produsen mainan berbahan dasar kayu ini menjadikan negara-negara Asia dan Eropa sebagai sasaran produknya.

Namun sejak satu tahun terakhir lalu, ia terpaksa beralih ke pasar lokal karena kalah bersaing dengan produk China, Vietnam dan Philipina.

"Mereka teknologinya lebih canggih. Mesin-mesin yang dibutuhkan benar-benar dibantu oleh Negara. Kalau kita semua diusahakan sendiri, termasuk mesin-mesinnya. Dilema juga kalau mau beli mesin yang harganya tinggi, tapi kalau produknya tidak menentu nanti modal malah tidak kembali," kata Suparjan, pemilik Suparjan & Rupikah Children Toy's saat ditemui dirumah sekaligus workshopnya di Kelurahan Harjosari, Bawen, Kabupaten Semarang, Rabu (10/2/2016) siang.

Kelesuan usaha yang dimiliki Suparjan inipun akhirnya secara otomatis berimbas kepada tenaga kerja yang ia pekerjakan.

Jumlah tenaga kerja yang semula mencapai 40 orang, kini terpaksa ia pangkas menjadi 6 orang.

"Dulu waktu ramai-ramainya order itu, pekerja saya bisa mencapai 30 hingga 40 orang. Sekarang tinggal 6 orang," imbuhnya.

Di tengah keterpurukan usahanya akibat kalah bersaing dengan produk luar, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian pada tahun 2013 mengeluarkan peraturan mengenai pemberlakukan SNI Mainan Secara Wajib.

Aturan ini efektif berlaku sejak 1 Mei 2014 lalu. Dengan aturan itu, para pelaku usaha dan distributor wajib menerapkan SNI mainan dan memastikan bahwa produk mainan anak yang diproduksi dan dijual memenuhi ketentuan SNI.

"Tapi saya baru tahunya tahun 2015 saat diundang sosialisasi mengenai SNI di Klaten. Saat itu diikuti sekitar 60 pengrajin seperti saya," ungkapnya.

Memang aturan ini bertujuan untuk melindungi konsumen sekaligus meningkatkan daya saing industri nasional dalam menghadapi era persaingan bebas ASEAN.

Namun kenyataannya, para produsen mainan lokal justru terpuruk dan terancam gulung tikar akibat terbentur aturan ini.

Suparjan mengaku peraturan wajib SNI untuk produk mainan sangat memberatkan bagi pelaku usaha skala kecil seperti dirinya.

Sebab biaya sertifikasi yang harus dikeluarkan sangat mahal sehingga akan membuat biaya produksi membengkak.

"Ya otomatis tidak berani mengajukan (SNI). Soalnya pernah menanyakan biayanya berapa, ternyata untuk satu item produk saja itu biayanya sekitar Rp 16 juta dan itu hanya berlaku enam bulan. Padahal produk kita sudah lebih dari 200 item," ungkapnya getir.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Semarang sebagai kepanjangan pemerintah mengaku tidak menutup mata terhadap kesulitan yang dihadapi para produsen mainan anak ini.

Menurut Kepala Bidang Perindustrian Disperindag Kabupaten Semarang Winarno, biaya terbesar bagi sertifikasi produk ini adalah untuk biaya uji laboratorium yang melibatkan pihak ketiga.

Pemkab Semarang bahkan pernah menganggarkan dana bantuan sertifikasi bagi produsen mainan serta pakaian bayi yang ada di wilayahnya, untuk mendorong daya saing di pasaran.

Namun jumlah yang dianggarkan jauh dibawah kebutuhan biaya sertifikasi.

Pihaknya berharap, semangat para pelaku usaha kreatif untuk mendapatkan sertifikasi ini segera mendapat gayung sambut dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.

"Kita sebatas (membantu) biaya operasional untuk fasilitasi produk mereka, tapi untuk biaya uji dan sertifikasi mungkin bisa dibantu oleh pemerintah provinsi atau pusat karena jumlahnya tidak sedikit. Jadi ada kesepamahaman, bahwa ini memang betul untuk daya saing produk-produk kita, mari sama-sama mengatasi agar SNI bisa keluar," kata Winarno.

Produk Aman Untuk Anak-anak
Suparjan memproduksi mainan edukatif dengan bahan dasar kayu mahoni.

Kendati ketersediaan kayu mahoni mulai jarang, namun sejauh ini belum berpengaruh pada proses produksi.

Kayu mentah yang akan digunakan, lebih dahulu dioven untuk menghilangkan getahnya.

Kayu kemudian dipotong menjadi balok-balok kecil. Balok-balok ini kemudian dihaluskan hingga tidak ada serat kasar yang keluar.

Setelah itu balok dipotong sesuai ukuran dan dibentuk sesuai dengan pola.

Dalam memproduksi mainannya, Suparjan memperhatikan keamanan untuk anak-anak.

Ia menghindari bentuk sudut agar tidak mudah melukai anak-anak dan menggunakan pewarna yang aman untuk anak-anak.

Dengan kelebihan itu, produknya banyak dipakai oleh sekolah-sekolah dan kelompok bermain di Indonesia.

"Memang untuk pasar lokal sampai sekarang lancar-lancar saja, terutama yang kami kirim ke Medan, Surabaya, kadang-kadang juga Papua, Gorontalo, Banjarmasin juga pernah. Batam, Bali, kayanya hampir seluruhnya pernah pakai produk saya," ujarnya.

Ditengah serbuan permainan digital, usaha Suparjan ini seharusnya mendapat apresiasi dan penghargaan yang selayaknya, bukan malah dipersulit.

Permainan anak-anak ini meski sekilas nampak sederhana, namun mampu melatih saraf motorik anak dan membantu anak berkreasi sesuai imajinasi mereka, sehingga tumbuh kembang anak bergerak ke arah yang positif.

Suparjan masih berharap, di era Pemerintahan Joko Widodo dengan semangat Nawa Cita-nya, produk mainan edukatifnya akan terus berkembang dan mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri.

"Saya mohon SNI ini biayanya terjangkau. Saya masih bermimpi kembali tembus pasar Eropa," pungkasnya

Unknown

About Unknown

Pimpinan Redaksi Tabloid LPKNM