LPKNM.com - Jakarta. Belasan aktivis Koalisi Melawan Limbah (KML) menumpahkan endapan lumpur beracun Sungai Cikijing di depan Gedung Sate, Bandung untuk menyoroti kerugian ekonomi ±11,4 triliun rupiah akibat puluhan tahun pencemaran industri tekstil di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Aktivis yang menggunakan Alat Perlindungan Diri terhadap B3 menumpahkan lumpur beracun ke dalam sebuah bak kedap air berukuran 2×3 meter dimana kemudian dituliskan “KERUGIAN 11 T” di atasnya. Sementara itu beberapa aktivis yang lain memegang spanduk yang salah satunya bertuliskan pesan “Pencemaran B3 Merugikan Kita Semua”. Lumpur beracun tersebut kemudian dimasukkan kembali ke dalam tempat penyimpanan sementara berlabelkan B3.
Aksi dilakukan menyusul peluncuran laporan Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Industri yang mengungkap nilai total kerugian ekonomi akibat pencemaran di kawasan Rancaekek dengan pendekatan Total Economic Valuation (tanpa mengikutsertakan biaya abai baku mutu) yang mencapai angka Rp. 11.385.847.532.188 (± Rp11,4 Triliun).
Dari hasil survey dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa 77,67% warga berpendapat bahwa terjadi penurunan kualitas air setelah pabrik berdiri dan 88,35% warga terpaksa membeli air untuk sumber air minum akibat memburuknya kualitas air tersebut.
Nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran bahan berbahaya industri di salah satu aliran anak Sungai Citarum tersebut mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta tidak efektifnya regulasi pemerintah Indonesia dalam mencegah meluasnya pencemaran bahan kimia berbahaya beracun (B3) industri ke dalam lingkungan.
“Pencemaran yang berlangsung bertahun-tahun dibiarkan terus menerus bahkan ijin pembuangan limbah cair terus dikeluarkan, lahan yang tercemar bukannya dipulihkan malah dialihfungsi menjadi kawasan industri. Praktik perampasan lahan warga terjadi dengan cara membuat lahan warga tidak/kurang produktif sehingga mau tidak mau warga menjual sawahnya. Di dalam persidang ada kesaksian petugas pemberi ijin tidak melakukan perhitungan daya dukung dan daya tampung sungai cikijing sebelum mengeluarkan ijin pembuangan limbah cair,” jelas Dwi Sawung dari Walhi Jabar.
Sementara itu, tim kuasa hukum KML, Ari Mastalia mengatakan, gugatan pencabutan dan pembatalan IPLC di PTUN merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan, dimana warga dan kelompok masyarakat — dalam perkara a quo organisasi lingkungan hidup — dapat mengutarakan kepentingan dan menggunakan hak hukumnya sesuai amanat konstitusi.
“Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”, imbuhnya.
Lingkungan yang terganggu keseimbangannnya harus dikembalikan fungsinya. Dengan demikian hendaknya ada evaluasi dalam prosedur penerbitan Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) agar lebih memperhatikan daya tampung dan daya dukung sungai serta peruntukan sungai itu sendiri, dan optimalisasi pengelolaan air limbah (khususnya yang terindikasi mengandung B3) bagi kegiatan yang berpotensi mencemari.
Koordinator Pawapeling, Adi M. Yadi menambahkan, keputusan pemberian IPLC ini harus dicabut untuk mencegah kerusakan ekosistem Sungai Cikijing menjadi lebih parah lagi. Kerugian yang diderita oleh masyarakat dan lingkungan sudah begitu besar, ini tidak boleh bermain-main lagi.
“Dunia fesyen global telah mulai berubah. Lebih dari 30 perusahaan fesyen global telah berkomitmen untuk menghapuskan penggunaan semua bahan kimia berbahaya dari produk dan rantai produksinya pada tahun 2020 dan juga untuk membuka data-data pembuangan bahan berbahaya beracun dari rantai produksinya kepada publik. Praktik kotor dan tidak bertanggungjawab industri yang menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat dan lingkungan seperti di Rancaekek tidak akan mendapat tempat di masa depan. Pemerintah harus mendorong industri untuk bertanggungjawab dan berinovasi menuju Nol Pembuangan B3,” tukas juru kampanye Detox Greenpeace, Ahmad Ashov Birry.
Kasus Rancaekek dapat menjadi potret pembuangan bahan kimia berbahaya beracun yang masif dan tertutup ke sungai-sungai dan lingkungan Indonesia dan betapa mudahnya industri untuk mencemari dan lari dari tanggungjawabnya.
Menjelang kesimpulan dan putusan dari sidang gugatan Melawan Limbah pada 10 Mei dan 24 Mei 2016 di PTUN Bandung, Koalisi Melawan Limbah mendesak Pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum dan memastikan industri pencemar bertanggungjawab penuh melakukan ganti rugi dan pemulihan lingkungan hidup.
Pemerintah Indonesia harus menjamin keselamatan dan kesehatan warga dan generasi mendatang dari ancaman bahaya B3 dengan membawa Indonesia menuju Nol Pembuangan B3.
Aktivis yang menggunakan Alat Perlindungan Diri terhadap B3 menumpahkan lumpur beracun ke dalam sebuah bak kedap air berukuran 2×3 meter dimana kemudian dituliskan “KERUGIAN 11 T” di atasnya. Sementara itu beberapa aktivis yang lain memegang spanduk yang salah satunya bertuliskan pesan “Pencemaran B3 Merugikan Kita Semua”. Lumpur beracun tersebut kemudian dimasukkan kembali ke dalam tempat penyimpanan sementara berlabelkan B3.
Aksi dilakukan menyusul peluncuran laporan Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Industri yang mengungkap nilai total kerugian ekonomi akibat pencemaran di kawasan Rancaekek dengan pendekatan Total Economic Valuation (tanpa mengikutsertakan biaya abai baku mutu) yang mencapai angka Rp. 11.385.847.532.188 (± Rp11,4 Triliun).
Dari hasil survey dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa 77,67% warga berpendapat bahwa terjadi penurunan kualitas air setelah pabrik berdiri dan 88,35% warga terpaksa membeli air untuk sumber air minum akibat memburuknya kualitas air tersebut.
Nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran bahan berbahaya industri di salah satu aliran anak Sungai Citarum tersebut mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta tidak efektifnya regulasi pemerintah Indonesia dalam mencegah meluasnya pencemaran bahan kimia berbahaya beracun (B3) industri ke dalam lingkungan.
“Pencemaran yang berlangsung bertahun-tahun dibiarkan terus menerus bahkan ijin pembuangan limbah cair terus dikeluarkan, lahan yang tercemar bukannya dipulihkan malah dialihfungsi menjadi kawasan industri. Praktik perampasan lahan warga terjadi dengan cara membuat lahan warga tidak/kurang produktif sehingga mau tidak mau warga menjual sawahnya. Di dalam persidang ada kesaksian petugas pemberi ijin tidak melakukan perhitungan daya dukung dan daya tampung sungai cikijing sebelum mengeluarkan ijin pembuangan limbah cair,” jelas Dwi Sawung dari Walhi Jabar.
Sementara itu, tim kuasa hukum KML, Ari Mastalia mengatakan, gugatan pencabutan dan pembatalan IPLC di PTUN merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan, dimana warga dan kelompok masyarakat — dalam perkara a quo organisasi lingkungan hidup — dapat mengutarakan kepentingan dan menggunakan hak hukumnya sesuai amanat konstitusi.
“Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”, imbuhnya.
Lingkungan yang terganggu keseimbangannnya harus dikembalikan fungsinya. Dengan demikian hendaknya ada evaluasi dalam prosedur penerbitan Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) agar lebih memperhatikan daya tampung dan daya dukung sungai serta peruntukan sungai itu sendiri, dan optimalisasi pengelolaan air limbah (khususnya yang terindikasi mengandung B3) bagi kegiatan yang berpotensi mencemari.
Koordinator Pawapeling, Adi M. Yadi menambahkan, keputusan pemberian IPLC ini harus dicabut untuk mencegah kerusakan ekosistem Sungai Cikijing menjadi lebih parah lagi. Kerugian yang diderita oleh masyarakat dan lingkungan sudah begitu besar, ini tidak boleh bermain-main lagi.
“Dunia fesyen global telah mulai berubah. Lebih dari 30 perusahaan fesyen global telah berkomitmen untuk menghapuskan penggunaan semua bahan kimia berbahaya dari produk dan rantai produksinya pada tahun 2020 dan juga untuk membuka data-data pembuangan bahan berbahaya beracun dari rantai produksinya kepada publik. Praktik kotor dan tidak bertanggungjawab industri yang menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat dan lingkungan seperti di Rancaekek tidak akan mendapat tempat di masa depan. Pemerintah harus mendorong industri untuk bertanggungjawab dan berinovasi menuju Nol Pembuangan B3,” tukas juru kampanye Detox Greenpeace, Ahmad Ashov Birry.
Kasus Rancaekek dapat menjadi potret pembuangan bahan kimia berbahaya beracun yang masif dan tertutup ke sungai-sungai dan lingkungan Indonesia dan betapa mudahnya industri untuk mencemari dan lari dari tanggungjawabnya.
Menjelang kesimpulan dan putusan dari sidang gugatan Melawan Limbah pada 10 Mei dan 24 Mei 2016 di PTUN Bandung, Koalisi Melawan Limbah mendesak Pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum dan memastikan industri pencemar bertanggungjawab penuh melakukan ganti rugi dan pemulihan lingkungan hidup.
Pemerintah Indonesia harus menjamin keselamatan dan kesehatan warga dan generasi mendatang dari ancaman bahaya B3 dengan membawa Indonesia menuju Nol Pembuangan B3.